Label

Minggu, 25 Maret 2012

Kisah Muallaf yang hapal 30 juz'.

Assalamu alaikum,,,,

Kisah mualaf yang kini sudah hafal 30 juz ‘’Man Jadda Wajada.’’ (Barangsiapa bersungguh-
sungguh, pastilah ia akan berhasil). Ungkapan seorang
bijak yang biasa dihafal kalangan santri itu rupanya
benar-benar diamalkan oleh Yulio Muslim da Costa,
seorang mualaf asal Tmor Timur. Berkat
kesungguhannya, ia mampu menghafal Alquran sebanyak 30 juz. Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa
Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat
sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di
dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia
adalah seorang penganut agama Katholik yang
terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya. Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya
sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan
rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa
mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah.
Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio
mengaku sering mendengar bisikan di antara teman- temannya yang ragu akan kebenaran agama yang
dipeluknya. Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang
memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah.
Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik
yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik
agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang
ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya. Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz
Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi
dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk
masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang
paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki
kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa. Tekadnya untuk memeluk Islam sempat terbentur
keluarga. Kedua orangtua dan sebagian keluarganya,
menentang niat Yulio untuk pindah agama. Namun,
halangan itu tak menyurutkan tekad bulatnya untuk
menjadi seorang Muslim. Keseriusannya untuk
berpindah akidah akhirnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat,
jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih
bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan,
perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak
lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi
(minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung
halamannya. Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama
yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria
berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang.
Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau.
Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua
kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria. Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada
28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib
tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama
Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da
Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa. Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada
sang paman apa yang harus dilakukan di awal
keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat
agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang
imam lakukan dalam shalat.’’ Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan
yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam
selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-
gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu
apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat
kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum. Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan
lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat
gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro
mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di
antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan. Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa
terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-
temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan
judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa
pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora,
sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku
kecopetan. Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu
tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran
Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah
menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran,
Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu
jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo. Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran
Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan
mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia
akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam
hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku
Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek. Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis.
Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan
juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu
tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu
pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan. Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti
ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan.
Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim
menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang
sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap
istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi. Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang
ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi
ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa
sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-
bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari
Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah
hidupnya. Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan
dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta
Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya
langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes
penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi
amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997. Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia
menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk
menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun
1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud
untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya
untuk memeluk Islam. Saat itu – pascareferendum — keluarganya sedang
mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan
keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu.
Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu,
keluarganya belum merespons dakwahnya untuk
memeluk Islam. Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang
sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah
berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan
pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya
dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke
Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan
memeluk Islam. Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur.
Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang
Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku
begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada
dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang
dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam. Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota
Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya
menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai
modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini
ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya
untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk
dalam agama Islam. Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk
berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi,
karena orang-orang Islam Indonesia memiliki
semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke
Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk
memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul,
DIY. Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai
sekarang telah membuatnya belajar banyak hal.
Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu
dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang
berjuang di jalan Allah. Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata,
Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di
kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang
selalu mendukung setiap langkah beliau sampai
sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan
kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab
di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat. Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang
mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim
selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan
keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan
sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah
dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim
Dacosta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar