Label

Selasa, 27 Maret 2012

Menjawab tudingan Al-Qur'an telah dirubah.

Al-QUR’AN DIKORUPSI 127 AYAT?
(Menjawab Tudingan Misionaris JIL dan Penginjil Kristen) Oleh: A. Ahmad Hizbullah M.A.G.
[www.kristenisasi.wordpress.com , ahmadhizbullah@gmail.com]
.
Sebagai konsekuensi dari dua kalimat syahadat,
seorang Muslim meyakini Al-Qur’an sebagai satu-
satunya kitab suci pamungkas yang tidak mengandung
keraguan (la rayba fih) sedikit pun. Otentisitasnya dijamin langsung oleh Allah SWT,
sehingga setiap huruf dan ayatnya selalu terjaga
se¬panjang masa dari segala perubahan (tahrif), baik
penambahan, pengurangan, penyisipan, manipulasi,
maupun perubahan tata letak ayat. Jaminan langsung
dari Allah itulah yang menjadi penentu kemurnian Islam sebagai¬mana yang diajarkan Rasulullah SAW. Karenanya, para musuh Islam baik orien¬talis Yahudi
maupun Kristen yang ingin meruntuh¬kan Islam,
menjadikan Al-Qur’an sebagai sasaran tembak.
Mereka berpikir, jika keyakinan terhadap otoritas
(kehujjahan) Al-Qur’an ini runtuh, maka tidak ada lagi
yang bisa dipertahan-kan dari Islam selain namanya (illa ismuhu).
Salah satu upaya yang mereka tempuh untuk
meng¬goyang keyakinan umat Islam terhadap
orisinalitas Al-Qur’an adalah men¬ciptakan ber¬bagai
kebohongan –yang dikemas sedemikian rupa sehingga
menimbulkan efek seolah-olah objektif dan ilmiah– bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan umat
Islam saat ini tidak sama dengan Al-Qur’an yang
diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad
Mereka menuding proses pem¬bukuan Al-Qur’an oleh
Khalifah Abu Bakar dan Utsman RA banyak mengalami
kesalahan dan distorsi. Akhir-akhir ini, dalam berbagai situs, mailis dan blog,
para penginjil giat menyerang otentisitas Al-Qur’an
dengan berbagai syubhat. Beberapa situs di antaranya: http://www.ekaristi.org/ , http://eInjil.com/ , http:// www.sarapanpagi.org/ , www.indonesia.faithfreedom.org , dll. Salah satu amunisi untuk menyerang Al-Qur’an, justru
mereka kais dari mulut para liberalis berkedok Islam
(kelompok JIL). Artikel “Merenungkan Sejarah Al-
Qur’an” tulisan Luthfi Assyaukanie dalam
islamlib.com (17/11/2003), menjadi “durian runtuh”
bagi para penginjil. Dalam artikel tersebut, pentolan JIL yang menjadi dosen Sejarah Pemikiran Islam di
Universitas Paramadina Jakarta ini menuduh Al-
Qur’an surat Al-Ahzab yang ada saat ini tidak sesuai
dengan Al-Qur’an yang diajarkan Nabi Muhammad,
karena dikorupsi 127 ayat pada proses pembukuannya.
Berikut kutipannya: “Perbedaan antara mushaf Utsman dengan mushaf-
mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, istri
Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam
kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada
masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah
Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” ( http:// www.islamlib.com/id/page.php?page article&id=447). Serangan para penginjil Kristen dan liberalis Muslim itu
bukan hal yang baru, melainkan sudah kuno dan
kadaluwarsa (out of date). Jauh sebelumnya tudingan
ini telah dilontarkan oleh Robert Morey pada tahun 1992
dalam buku The Islamic Inva¬sion. Morey menulis:
“Some verses missing. According to Professor
Guillaume in his book, Islam, (p. 191 ff), some of the
original verses of the Quran were lost. For example, one
Sura originally had 200 verses in the days of Ayesha.
But by the time Utsman standardized the text of the Quran, it had only 73 verses! A total of 127 verses had
been lost, and they have never been recovered.” (The
Islamic Invasion: Confronting the World’s Fastest
Growing Religion, Harvest House Publishers, Eugene,
Oregon, p. 121). (Beberapa Ayat Hilang. Menurut Profesor Guil¬laume
dalam bukunya yang berjudul Islam, pada halaman 191
ff disebutkan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an yang
asli telah hilang. Contohnya adalah salah satu surat
yang aslinya terdiri dari 200 ayat pada zaman Aisyah.
Akan tetapi aneh¬nya sesaat sebelum Utsman membukukan teks Al-Qur’an, jumlah ayatnya tersisa
hingga 73 ayat! Sedangkan 127 ayat lainnya telah
hilang begitu saja dan tidak pernah ditemukan lagi
hingga sekarang).
Betapa kompaknya ocehan penginjil Kristen dan aktivis
JIL itu, sangat cocok bagai cembul dapat tutupnya. Sama-sama menghujat, dan sama-sama tidak ilmiah. Gaya mengkritik para penginjil, orientalis dan liberalis
itu sangat kampungan dan tidak ilmiah sama sekali.
Mereka hanya bisa menuding Al-Qur’an hilang tanpa
menyebutkan teks ayat yang dituding hilang itu, apa
motifnya, dan siapa yang menghilangkannya. Hal ini berbeda dengan gaya ilmuwan Kristen ketika
mengkritik Alkitab (Bibel), kitab suci mereka sendiri.
Ketika memvonis kepal¬suan ayat ketuhanan Trinitas
dalam kitab 1 Yohanes 5:7-8: “Sebab ada tiga yang
memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan
Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu. Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]” (1 Yohanes 5:7-8). Mmereka bisa membuktikan siapa yang pemalsunya,
kapan terjadinya dan apa motif pemalsuan ayat
tersebut. William Barclay –teolog terkemuka asal
Skotlandia yang dikukuhkan menjadi Gurubesar dalam
bidang Biblical Criticism tahun 1969– bisa menunjukkan
asal-usul kepalsuan ayat Trinitas itu. Dengan data-data yang valid, di¬bukti-kannya bahwa
orang pertama yang mengutip ayat itu adalah
Priscillian, seorang bidat asal Spanyol yang meninggal
tahun 385. Sisipan teks ayat itu berasal dari komentar
atau catatan pada margin Alkitab yang dimasukkan
secara resmi ke dalam Alkitab karena dianggap mendukung doktrin Trinitas (William Barclay, The Daily
Bible Study: the Epistles of John and Jude, [edisi
Indonesia: Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat-surat
Yohanes dan Yudas], hlm. 185-187). Terhadap tudingan korupsi 127 ayat dalam Al-Qur’an,
kita tidak bisa berkomentar banyak, karena tudingan
tersebut disuguhkan apa adanya tanpa penelitian
sedikit pun. Padahal, sebagai seorang ilmuwan
terpelajar, seharusnya mereka melakukan
penyelidikan lebih jauh, darimana riwayat kisah tersebut dikutip oleh Guillaume. Tuduhan ini tertolak
dengan fakta-fakta berikut: Pertama, Khabar dalam Al-Itqan yang dikutip oleh Luthfi
Assyaukanie –maupun Profesor Guil¬laume– tidak valid
dan patut dipertanyakan, karena tidak mencamtumkan
sanad yang shahih sampai kepada para shahabat.
Apalagi, para ulama hadits menyebut riwayat yang
men¬¬catut nama Aisyah ummul mukminin itu sebagai “sanad yang paling lemah” (Tafsir At-Tahrir Wat-
Tanwir X/246).
Senada dengan itu, Muhammad Izzah Daruzah yang
telah melakukan penelitian terhadap tuduhan itu,
menyebutnya sebagai khabar yang kurang dipercaya
(dhaif) dan tidak terdapat dalam kitab hadits yang shahih. Maka tawaquf (abstain) dari khabar tersebut
lebih afdhal.
Selain itu, dalam mushaf Utsman RA dinukil dari mushaf
yang telah disusun pada masa Abu Bakar RA, tidak
mungkin terjadi penghapusan satu ayat pun, apalagi
sampai ratusan ayat seperti yang dituduhkan itu. Apalagi Aisyah RA adalah wanita yang kuat hafalan
baik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits
nabi. Sehingga sangat tidak masuk akal jika Aisyah
hanya berdiam diri saat menjumpai ada ratusan ayat
yang dihapus. Kalaupun pengurangan ayat itu terjadi
tidak masuk akal pula kalau dirinya tidak membantah” (At-tafsir Al-Hadits; Tafsir Suwar
Murattabah Hasba Nuzul, VIII/238-239). Kedua, Secara logika, penyusutan ayat dari 200 menjadi
73, artinya hilang 127 ayat. Ini bukan suatu jumlah yang
sedikit. Seandainya Utsman mengorupsi 127 ayat Al-
Qur’an pada proses pem¬bukuan, bisa dipastikan
umat Islam akan ‘geger’ pada waktu itu, bahkan
bisa terjadi konflik berdarah yang akan menggagalkan proses pembukuan Al-Qur’an. Jika berani
mengo¬rupsi ayat Al-Qur’an meskipun hanya satu
ayat, pastilah Utsman akan menuai komplain dari para
shahabat lainnya, karena sangat banyak shaha¬bat
yang hafal Al-Qur’an di luar kepala. Ketiga, Riwayat dhaif tentang komplain Aisyah
terhadap mushaf Al-Qur’an, semakin terbukti dengan
adanya ijma’ (consensus) umat Islam terhadap
mushaf Al-Qur’an pada waktu itu. Setelah mushaf Al-
Qur’an pada masa Utsman selesai dibukukan, naskah
tersebut diverifikasi dan dicek dengan mushaf yang dari Hafshah, lalu dibacakan kepada para shahabat di
depan Utsman. Ternyata tak satupun shahabat yang
mem¬protes (komplain) terhadap mushaf Al-Qur’an
tersebut. (The History of Qur’anic Text, edisi Indonesia:
Sejarah Teks Al-Qur’an, hlm. 105). Keempat, Dalam sejarah pembukuan Al-Qur’an, tidak
pernah terjadi ayat yang hilang, karena sejak zaman
Nabi, Al-Qur’an sudah dihafal oleh ratusan shahabat
secara mutawatir. Yang terjadi adalah terselipnya
media catatan ayat pada proses pembukuannya,
padahal ayat tersebut sudah dihafal di luar kepala oleh para shahabat. Jika hal ini terjadi, maka penulisan ayat
Al-Qur’an dalam mushaf belum dapat dilakukan,
karena penulisan ayat dilakukan jika memenuhi dua
syarat: adanya hafalan yang dihafal¬kan langsung dari
Rasulullah SAW dan adanya tulisan yang ditulis
langsung di hadapan Rasulullah. Jika para shahabat
sudah hafal suatu ayat tapi tulisannya belum dijumpai,
maka tulisan tersebut dicari sampai ketemu, baru
kemudian ditulis dalam mushaf. Misalnya, surat Al-Ahzab 33 belum ditemu¬kan
catatannya, sementara ayat tersebut sudah dihafal di
luar kepala oleh para shahabat. Pada¬hal Abu Bakar
mempersyaratkan adanya cata-tan Al-Qur’an yang
disaksikan oleh dua orang ketika ditulis langsung di
hadapan Rasulullah. Maka ayat yang dimaksud dicari-cari terus, hingga
akhirnya diketemukan pada catatan shaha-bat Abu
Khuzaimah bin Aus Al-Anshary. Demi¬kian pula dengan
surat At-Taubah 128-129, yang akhirnya diketemukan
di kediaman shahabat Khuzaimah bin Tsabit. Tak satupun ayat Al-Qur’an yang hilang, karena ayat-
ayat itu langsung dihafal oleh para shaha¬bat setelah
diwahyukan kepada Nabi SAW. Dan tidak pernah terjadi
perbedaan naskah Al-Qur’an menurut Aisyah dengan
naskah Al-Qur’an yang dibukukan oleh kepanitiaan
yang dibentuk oleh Utsman bin Affan. Itulah salah satu cara penjagaan Allah terhadap Al-
Qur’an adalah menjadikannya sebagai mukjizat yang
penuh dengan keindahan struktur sehingga mudah
dihafalkan orang, meskipun orang itu tidak paham
bahasa Arab. “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an
untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil
pelajaran?” (Qs Al-Qalam 17, 22, 32, 40). Buah penjagaan Allah terhadap kitab suci-Nya adalah
tidak adanya perbedaan Al-Qur’an yang beredar di
seluruh dunia. Di negara mana¬pun, Al-Qur’an tetap
sama dan seragam, dalam bahasa Arab yang sudah
dihafal oleh jutaan huffaz. Fakta-fakta itu seharusnya bisa mencelikkan mata para
para penginjil, orientalis dan liberalis. Bila mereka
keukeh tidak mau menerima kebenaran Al-Qur’an,
bahkan terus-menerus menghujatnya, masih adakah
perbedaan aqidah antara para misionaris JIL dan
penginjil Kristen itu, selain kolom agama di KTP? [Dimuat di Tabloid Suara Islam edisi 72, tanggal 7-21
Agustus 2009M, hlm. 18]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar